Hantu di penghujung hari

sagittarius sun
4 min readSep 15, 2022

Arez & his memoir pt. I: a sweet escape

Seharusnya aku mendengarkan perkataan ibu.

Tidak boleh tidur sebelum maghrib.

Karena lagi lagi dia datang dalam delusi di ujung hari.

Bunga tidur kali ini berlatarkan malam hari, disaksikan oleh bulan sabit yang sudah menggantung nyaman di langit malam ditemani dengan semilir angin dingin yang sesekali hadir. Ada bangunan asing yang tidak pernah kulihat sebelumnya, dengan balkon lantai dua tanpa atap dan satu lapangan bola di bawahnya yang ramai oleh penikmat futsal dadakan. Riuh sorakan yang bergema di udara seakan enggan untuk masuk ke dalam gendang telinga. Keramaian yang ada seperti menciptakan gelembung dengung statis yang menyelubungi sekitarku. Aku bosan dan sedih, tanpa tau apa yang mengganjal dalam pikiranku saat itu. Yang ku tau hanya sekeliling ku riuh, hati ku tidak. Sampai sosok familiar yang sudah lama absen dari benak dan pikiran ku tertangkap oleh pandangan.

Di ujung tangga sana, sosok tingginya muncul di bawah sinar redup rembulan dengan kacamata yang tetap setia menghiasi wajahnya yang terlihat lelah. Di ilusi ini, dia tetap dengan posisinya sebagai anak magang di salah satu firma. Hari kesekian dimana dia harus merelakan dirinya pulang malam demi menyelesaikan apa yang menjadi tanggung jawabnya. Entah bagaimana, dirinya bisa sadar akan eksistensi ku di ujung balkon yang sedang berdiri dalam kesendirian. Dengan langkah yang perlahan tapi pasti, sosoknya yang semakin mendekat dan membesar terlihat dari visi periferal sudut mata.

Untuk sesaat hanya ada hening menyesakkan yang mengisi udara malam. Aku dengan kemelut pikiran dan gejolak perasaan yang selalu teredam, dan dia dengan entah apa yang dipikirkannya. Mungkin tentang Sang Puan yang bertahta di hidupnya, mungkin pula tentang motor miliknya yang perlu dibawa ke bengkel minggu ini. Hingga akhirnya suara yang sudah lama tidak pernah terdengar itu hadir diantara riuh sorai yang pecah di bawah sana. Katanya, kamu lebih mau nemenin aku nonton bola di bawah, atau motong kuku di sana?. Jari telunjuknya bergerak kesana dan kemari ke tempat yang dia ingin datangi. Tubuhnya dekat, kedua lengan kami saling bersentuhan tanpa adanya rongga yang mengisi diantara. Namun perasaan kosong itu tetap ada. Terasa nyata dan solid, seakan terdapat hamparan lembah kosong yang memisahkan jiwa keduanya. Seakan tidak kunjung menemukan adanya titik temu terlepas dari jasmani yang berdekatan.

Sesaat, rasa rindu yang mengakar jauh dalam benak ku mulai terasa riuh. Seperti angin ribut yang siap meluluhlantakkan semua yang dilalui. Seharusnya mudah saja bagiku untuk mengucapkan, aku kangen duduk di jok motormu yang licinnya ga kira-kira itu. Toh semua ini hanya delusi bunga tidur yang terjadi di alam bawah sadar ku.

Entah bagaimana caranya rindu dan kosong dapat hidup berdampingan, aku tidak akan pernah bisa mengerti. Mungkin saja rindu ini lahir dari adanya kekosongan. Kata ibu di suatu malam saat aku masih awal menginjak remaja, kekosongan itu sama pentingnya dengan perasaan yang lain. Kosong itu awal mula dari segalanya, kita ga akan bisa menghargai adanya bahagia dan sedih tanpa hadirnya kosong. Mungkin kekosongan ini pula yang membuat kehadirannya terasa berkesan layaknya udara hangat pertama di awal musim semi. Seperti oase di tengah gurun yang nyatanya hanya fatamorgana yang hilang tanpa jejak.

Di lini waktu ini, aku bisa menyentuh kulitnya dengan bebas. Aku bisa saja menggenggam jemari yang biasa memegang kendali motor kuning kesayangannya itu. Di lini waktu ini, ternyata dia juga hobi menulis. Telah kubaca satu karyanya yang membalas isi tulisanku tentang dia. Lucu, bagaimana semua berjalan berbanding terbalik dari apa yang ada di dunia nyata, seperti bagaimana dia bisa memiliki perasaan yang sama untukku. Meskipun kenyataannya ia tetaplah angan jauh yang sulit untuk digapai.

Semua berjalan selalu seperti ini, aku seakan diberi kesempatan untuk mengecap kebahagiaan barang sesaat dengan menghabiskan waktu yang tidak bisa dihitung lamanya bersama dengan dirinya. Pernah sekali dia hadir untuk menetapkan pilihannya yang jatuh kepadaku, hanya saja dia terpaksa harus terus bersama Sang Puan untuk alasan yang tidak dijelaskan. Sebuah hal yang aneh untuk diterima logika manusia yang paling waras sekalipun. Namun lagi lagi, kita sedang berada di alam bawah sadar. Di dunia fana yang lahir akibat aktivitas tinggi otak ketika kita terlelap. Alasan tidak wajar pun akan terasa normal disaat kita tidak bisa memegang kendali atas tubuh dan pikiran kita.

Seharusnya aku tidak baik baik saja ketika dia memilih untuk melesat pergi sesaat ketika Sang Puan masuk ke dalam bingkai cerita di tengah piknik yang telah direncanakan. Seharusnya aku sadar bahwa pilihan utama tidak akan dilepaskan begitu saja genggamannya ketika sang pihak ketiga muncul. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, aku justru merasa puas dengan perlakuan minimum yang tidak seharusnya meninggikan harapan. Setidaknya aku masih dipertimbangkan sebagai pilihan. Kurang lebih seperti itulah bisikan sesat yang merasuki ke alam bawah sadar.

Entah bagaimana impian yang seharusnya indah dengan jalan berbunga justru berubah menjadi wadah pelarian penuh semak berduri. Aku yang tanpa sadar terus berlari dari kenyataan bahwa aku tidak akan menjadi pilihan, dan dia yang terus berlari mengejar angan demi memberi makan ego semata. Aku yang merasa puas menjadi pilihan di dunia yang fana, dan dia yang tidak akan pernah bisa menjatuhkan pilihan di kedua dunia.

Tidak lama lagi pasti aku akan terbangun dari labirin tidak berujung ini, aku harus yakini itu. Aku percaya jika memang sudah kodratnya untuk tak sejalan, mungkin memang tidak apa apa untuk berhenti mengusahakan. Toh untuk apa terus mengusahakan sebuah jalan yang sudah pasti hanya akan disambut oleh kebuntuan. Waktu akan terus berjalan dan kehadirannya akan semakin pudar selayaknya kehadiranku yang turut pudar dalam dunia nya.

--

--